Hubungan manajemen konflik dengan kepuasan perkawinan pada istri di Kecamatan Ngasem Kabupaten Bojonegoro / Dwi Astutik - Repositori Universitas Negeri Malang

Hubungan manajemen konflik dengan kepuasan perkawinan pada istri di Kecamatan Ngasem Kabupaten Bojonegoro / Dwi Astutik

Astutik, Dwi (2008) Hubungan manajemen konflik dengan kepuasan perkawinan pada istri di Kecamatan Ngasem Kabupaten Bojonegoro / Dwi Astutik. Diploma thesis, Universitas Negeri Malang.

Full text not available from this repository.

Abstract

ABSTRAK Kata kunci manajemen konflik kepuasan perkawinan istri. Seorang istri dikatakan sudah mencapai kepuasan dalam perkawinan jika sudah mencapai sesuatu yang diharapkan dan diidealkan dalam perkawinan yang dirasakan oleh istri melalui aspek-aspek perkawinan. Bila istri tidak merasa puas akan pernikahan yang dijalani maka dapat berpengaruh pada cara pandangnya terhadap diri lingkungan maupun masa depannya juga terhadap kesehatan mentalnya. Ketidakpuasan dalam perkawinan berhubungan dengan konflik dalam rumah tangga sehingga pola manajemen konflik berhubungan dengan kepuasan perkawinan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Bagaimana pola manajemen konflik dan tingkat kepuasan perkawinan pada istri di Kecamatan Ngasem Kabupaten Bojonegoro. (2) Hubungan manajemen konflik withdrawing smoothing forcing compromising dan confronting dengan kepuasan perkawinan pada istri di Kecamatan Ngasem Kabupaten Bojonegoro. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan korelasional. Populasi penelitiannya seluruh istri usia perkawinan 1-5 tahun usia dewasa (20-40) tahun minimal pendidikan SMU di Kecamatan Ngasem Kabupaten Bojonegoro dengan jumlah 223 orang sedangkan sampel yang diambil berjumlah 70 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik random sampling dengan cara undian. Instrumen penelitian yang digunakan adalah skala manajemen konflik dan skala kepuasan perkawinan. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis korelasi Kendall-Tau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan manajemen konflik confronting (r 0 385 p 0 05) dan compromising (r 0 181 p 0 05) dengan kepuasan perkawinan yang berarti semakin tinggi skor manajemen konflik confronting dan compromising maka akan semakin tingginya tingkat kepuasan perkawinan. Berbeda dengan manajemen konflik smoothing (r -0 246) withdrawing (r -0 171) dan forcing (r -0 271). Variabel-variabel tersebut berhubungan negatif yang signifikan (p 0 05). Yang berarti bahwa semakin tinggi skor pada ketiga variabel maka semakin rendah kepuasan perkawinan subjek. Berdasarkan hasil penelitian ini maka saran yang diberikan sebagai berikut 1) Istri diharapkan mengembangkan manajemen konflik confronting compromising dan meminimalkan penggunaan manajemen konflik smoothing withdrawing dan forcing. 2) Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan hasil peneltian ini sebagai acuan untuk mengembangkan penelitian kepuasan perkawinan dengan menggunakan metode penelitian yang berbeda. Bagi perempuan Indonesia menikah adalah hal yang sarat berbagai nilai yang telah lama ada dikondisikan budaya patriarki. Kondisi budaya agama dan lingkungan sekitar membuat perempuan wajib memasuki jenjang dalam lembaga perkawinan. Karena jika tidak akan muncul labbelling bagi perempuan yang dalam kategori cukup umur dan belum menikah. Salah satu contoh pelabelan yang seringkali didengar untuk karakteristik perempuan yang belum menikah adalah perawan tua (Kartika 2002 57). Dalam budaya patriakis seperti Indonesia menikah memang tidak hanya berfungsi sebagai identitas sosial dan peningkatan status sosial bagi diri perempuan. Tetapi lebih jauh dari itu ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan keputusan untuk menikah atau tidak menikah. Kebanyakan orang beranggapan bahwa menikah adalah suatu hal yang membahagiakan. Selain juga agar perempuan tersebut kelihatan menjadi perempuan yang sempurna (Kartika 2002 57). Wanita yang masuk dalam lembaga perkawinan akan muncul deretan pekerjaan yang berjudul melahirkan mengurus anak suami dan rumah tangga yang sudah menanti. Umumnya tanpa disadari baik istri maupun suami tugas-tugas tersebut akan mengikat badan hati dan pikiran wanita sejak bangun pagi hingga malam hari (Ratih 2002 47) Sejumlah kisah tentang perempuan dalam perkawinan setidaknya didominasi oleh ilustrasi yang menunjukkan kuatnya superioritas laki-laki atas inferior wanita. Ada banyak kedudukan wanita yang tidak berdaya dalam menghadapi perkawinan baik secara fisik maupun psikologis (Subiantoro 2002 9). Kedekatan yang penuh cinta dan saling memahami diperlukan dalam membina suatu hubungan terutama hubungan dalam sebuah ikatan perkawinan. Kebahagiaan dan kepuasan dalam perkawinan yang ingin dicapai oleh setiap pasangan tidak muncul dengan sendirinya harus diusahakan dan diciptakan oleh kedua pasangan (Munandar 2001 65). Terdapat perbedaan gender dalam hal kepuasan perkawinan. Pada umumnya istri memiliki kepuasan perkawinan lebih rendah dibandingkan dengan suami. Studi Bell (dalam Desmita 2007 246) menunjukkan bahwa wanita yang menikah mengalami frustasi tidak puas dan tidak bahagia yang lebih besar dibandingkan dengan pria. Lebih lanjut penelitian Rubin (dalam Desmita 2007 246) melaporkan bahwa keluhan umum yang disampaikan wanita dalam suatu perkawinan adalah bahwa suami tidak peduli pada kondisi emosionalnya dan tidak mengekspresikan perasaan dan pikiran sendiri. Hasil survei Unger dan Croeford (dalam Pujiastuti dan Renowati 2004 1) di Amerika Serikat menemukan bahwa pada istri cenderung memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang paling rendah (56%) dibandingkan dengan suami (60%). Istri mempunyai tingkat penyesuaian paling rendah dan suami tingkat penyesuaiannya yang paling tinggi. Wright (1993) menemukan bahwa pernikahan yang tidak bahagia dan banyak mengalami konflik merupakan penyebab serius terjadinya depresi. Roy (Dalam Pujiastuti dan Retnowati 2004 2) menyebutkan bahwa lebih 50 % penderita depresi melaporkan masalah masalah pernikahan. Santrock (2005 124) mengatakan bahwa individu yang pernikahanya tidak membahagiakan memiliki sistem pertahanan tubuh yang berfungsi secara tidak efektif dibandingkan dengan individu yang pernikahannya bahagia. Menurut Davidoff (dalam Hartono 1991 203) hubungan dalam suatu perkawinan dikatakan langgeng memerlukan sikap yang terampil dalam menghadapi dan mengatasi setiap masalah yang timbul dengan sepenuh hati. Perkawinan yang stabil memerlukan kemampuan untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaan secara efektif dan kemampuan individu untuk mengatasi ketegangan-ketegangan atau konflik-konflik secara konstruktif. Sejalan dengan pemikiran di atas menurut Johnson dan Jonhson (1991 228) bahwa sesungguhnya konflik dapat membuat seseorang yang terlibat menjadi lebih sadar terhadap permasalahan yang terjadi dalam hubungan konflik dapat menuntun ke arah perubahan meningkatkan motivasi menghadapi masalah adanya keputusan yang lebih baik yang dibuat oleh orang-orang yang memiliki argumentasi terhadap masalah sedang dihadapi sama-sama bertanggung jawab terhadap keputusan itu serta membantu seseorang untuk lebih mengerti dirinya sendiri. Jelas bahwa ketika konflik ditangani dengan benar maka akan dapat mempererat hubungan perkawinan sebaliknya jika cara penangan konflik tersebut tidak tepat maka justru akan merusak hubungan yang telah lama dibina. Lebih lanjut menurut Hurlock (2002 313) tingkat keberhasilan orang dewasa dalam memecahkan masalah penting yang individu hadapi di masa dewasa akan menentukan kepuasan dan kebahagiannya. Seperti yang dijelaskan oleh Rene (dalam Hurlock 2002 303) bahwa hubungan dengan pasangan begitu terpusat pada gambaran sosial individu dan emosi hidup sehingga konflik dalam perkawinan berhubungan dengan kepuasan perkawinan. Kemampuan masing-masing pasangan dalam mengkomunikasikan pikiran dan perasaan tidak selalu berjalan dengan baik. Hal tersebut tergantung pada cara suami istri dalam menghadapi konflik-konflik yang terjadi dalam kehidupan perkawinannya supaya tidak menimbulkan kerugian tetapi justru membawa dampak yang konstruktif bagi individu-individu yang terlibat. Berbagai macam cara menghadapi konflik yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya maka berikut ini dijelaskan mengenai cara managemen konflik menurut Johnson dan Johnson (1991 307-309) yang dianggap dapat mewakili dari berbagai macam manajemen konflik yang ada. Macam-macam manajemen konflik tersebut adalah sebagai berikut 1. Withdrawing (menarik diri) Individu yang menggunakan strategi ini cenderung menarik diri untuk menghindar dari konflik. Individu mengorbankan tujuan pribadi dan hubungan dengan pasangan. Individu menjauh dari isu yang dapat menimbulkan konflik dan dari orang-orang yang terlibat konflik dengannya. Individu merasa tidak berdaya dan putus asa untuk mencoba menyelesaikan konflik. Individu percaya bahwa lebih mudah untuk menarik diri (secara fisik dan psikologis) dari konflik daripada menghadapinya. 2. Forcing (memaksa) Individu yang melakukan forcing dalam menyelesaikan konflik mencoba mengalahkan lawannya dengan cara memaksa orang lain menerima solusi konfliknya. Tujuan pribadi dianggap sangat penting sedangkan hubungan dengan orang lain sangat tidak penting oleh karena itu individu mencoba mencapai tujuan dengan segala cara. Individu tidak peduli dengan adanya kebutuhan orang lain dan apakah orang lain suka atau tidak. Individu yang tergolong dalam tipe ini berasumsi bahwa konflik hanya dapat diselesaikan dengan kemenangan satu pihak dan kekalahan pihak lainnya. Individu mencari kemenangan dengan cara menyerang menghancurkan dan mengintimidasi orang lain. 3. Smoothing (melunak) Bagi individu bertipe smoothing mempertahankan hubungan dengan orang lain jauh lebih penting dibandingkan dengan pencapaian tujuan pribadi. Individu ingin diterima dan disukai orang lain. Individu berpendapat bahwa konflik seharusnya dihindari demi keharmonisan hubungan dan bahwa orang tidak dapat membicarakan konflik terus berlanjut seseorang akan kecewa dan berakibat rusaknya hubungan. Individu bertipe ini akan mengorbankan tujuannya demi melestarikan hubungan 4. Compromising (kompromi) Individu yang menggunakan strategi ini menaruh perhatian baik terhadap tujuan pribadinya sendiri maupun hubungan dengan orang lain. Individu mencoba berkompromi dengan cara mengorbankan sebagian tujuannya dan membujuk orang lain yang terlibat konflik dengannya untuk mengorbankan sebagian tujuannya juga. Individu mencari solusi konflik agar kedua belah pihak sama -sama mendapatkan keuntungan. Individu bermaksud mengorbankan sebagian tujuannya demi mencapai persetujuan bersama. 5. Confronting (konfrontasi) Individu memandang konflik sebagai problem yang harus dipecahkan dan mencari solusi yang dapat mencapai baik tujuan pribadinya sendiri maupun tujuan orang lain. Individu melihat konflik sebagai sarana memperbaiki hubungan dengan cara mengurangi ketegangan antara dua orang. Individu mencoba memulai diskusi yang mengidentifikasi konflik sebagai suatu masalah. Mencari solusi yang memuaskan baik bagi individu sendiri maupun bagi orang lain individu mencoba mempertahankan hubungan dengan orang lain. Individu tidak merasa puas sebelum ketegangan dan perasaan negative benar-benar diselesaikan. Menurut Gotman (dalam Kurdek 1995) mengidentifikasi kepuasan perkawinan yang dihubungkan dengan gaya penyelesaian konflik merupakan suatu hal yang penting sebab dalam memelihara suatu perkawinan adalah salah satu dari tugas mengelola konflik dan ketidakpuasan perkawinan menunjukkan suatu rangkaian proses yang bersifat menandakan memburuknya perkawinan. Beberapa penelitian menemukan konsistensi yang menunjukkan bahwa setiap kepuasan dalam perkawinan akan berkorelasi positif dengan penggunaan gaya penyelesaian konflik yang konstruktif misalnya kesepakatan (agreement) kompromi (compromise) dan humor. Sebaliknya akan berkorelasi negatif dengan frekuensi penggunaan gaya penyelesaian konflik yang destruktif misalnya menarik diri (withdrawal) marah-marah (forcing) dan kepasrahan (defensiveness). (Kurdek 1995). Beberapa uraian dan hasil penelitian-penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan perkawinan berhubungan dengan pola penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik yang konstruktif (kompromi konfrontasi) akan memberikan kepuasan perkawinan yang tinggi sedangkan penyelesaian konflik yang destruktif (smoothing forcing withdrawing) akan menyebabkan rendahnya kepuasan perkawinan yang dapat digambarkan dalam kerangka pemikiran sebagai berikut.

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: ?? ??
Divisions: Fakultas Psikologi (FPsi) > Departemen Psikologi (PSi) > S1 Psikologi
Depositing User: library UM
Date Deposited: 03 Nov 2008 04:29
Last Modified: 09 Sep 2008 03:00
URI: http://repository.um.ac.id/id/eprint/100499

Actions (login required)

View Item View Item